Anak Miskin Dilarang Masuk Sekolah RSBI

Judul di atas memang sangat Bombastis. Ya, pada posting kali ini, Bu Guru akan menuliskan pandangan Bu Guru mengenai RSBI. Sobat sudah tau RSBI kan? Ya, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan peserta didik berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf Internasional sehingga diharapkan lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Beberapa komponen yang harus ada sebagai syarat RSBI diantaranya pemenuhan sarana, pemberdayaan sumber daya manusia dan pembangunan kultur di sekolah menjadi salah satu fokus sekolah. Pemenuhan sarana diantaranya semua Kelas dengan ruang ber-AC yang dilengkapi dengan komputer dan LCD, dan lain-lain.

Ide RSBI itu sangat bagus. Namun, dari pengamatan Bu Guru dilapangan, pada prkateknya ternyata RSBI tidak sebagus ide awalnya. Bahkan, yang muncul di lapangan adalah kenyataan bahwa yang diterima masuk di sekolah RSBI adalah mereka anak-anak yang berpunya. Padahal, RSBI itu diwajibnya menyisakan kuota untuk anak miskin. Selidik punya selidik, ternyata Kemendikbud mengakui sulitnya menerima kuota anak miskin di sekolah RSBI.

Hal ini diakui oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Khairil Anwar, mengakui jika sekolah berpredikat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sulit memenuhi kuota siswa miskin.

Berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), setiap kabupaten dan kota di Indonesia diwajibkan memiliki minimal satu sekolah bertaraf internasional. Aturan itu berlaku bagi pendidikan di setiap jenjang, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Hingga saat ini, kata Khairil, ada sekitar 1.300 sekolah RSBI di Indonesia. Kepada semua sekolah tersebut, pemerintah meminta mereka menyisakan 20 persen kursi bagi siswa miskin. Namun, pada praktiknya tak semua sekolah bisa memenuhi kuota itu.

Bu guru sepakat bahwa pada kenyataannya, RSBI itu sebenarnya hanya sekadar prestise, tidak ada  kaitannya dengan mutu pendidikan, dan hanya diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya. Anak-anak orang miskin sangat mustahil akan dapat masuk Sekolah RSBI. RSBI tempat lahirnya diskriminasi sosial, dan ajang pemerasan.

Sekolah-sekolah RSBI itu, menyelenggarakan tes lebih dahulu, sebelum ujian nasional berlangsung. Mereka melakukan penjaringan siswa melalui tes yang diselenggarakan internal sekolah mereka masing-masing. Tetapi, kalau pun mereka lulus, hasil nilai ujian nasional kecil, mereka dapat tersingkir.

Tentu, yang paling masygul, Sekolah RSBI itu, konon memungut bayaran yang tidak sedikit. Antara Rp 10 - 20 juta, tiap siswa yang diterima. Orang tua murid, yang sudah mengikuti tes, harus menandatangani pernyataan diatas meterai, kesanggupan mereka membiayai pendidikan. Sehingga, tidak ada komplain, terutama bagi siswa yang diterima, tidak mampu membayar. Jadi berapa miliar uang yang masuk, kalau tiap sekolah menerima siswa antara 300-400?

Ya begitulah pendidikan di Indonesia. Menurut Bu Guru, kualitas sebuah sekolah tidak selalu diukur dengan kemampuan keuangan. Baik swasta maupun negeri hakekatnya sama. Yang terpenting adalah peran para pendidik di dalamnya. Jika para pendidiknya cerdas, Bu Guru yakin, kualitas lulusannya pun tidak kalah berkualitas. Gimana menurut anda sob?
Lanjut Baca>>

Tentang Bu Guru

Saya seorang pengajar di SMK Ma’arif NU Bobotsari Kabupaten Purbalingga. Konsenstrasi pelajaran saya adalah Bahasa Indonesi. Sebenarnya, saya adalah guru yang agak males untuk menulis. Namun, setelah dikenalkan tentang blog oleh suami, saya jadi tergerak untuk memulai menulis apa yang saya bisa tulis. Dan melalui blog diaribuguru.blogspot.com ini, saya berusaha mengajak diri sendiri, karena bagaimanapun, guru Bahasa Indonesia adalah guru yang harus akrab dengan kepenulisan.

Buat para sahabat, tolong saya dibantu untuk menajamkan kemauan saya dalam hal kepenulisan. Beberapa kali saya mencoba mengirimkan tulisan ke media cetak, namun selalu ditolak. Tak apalah! Yang terpenting adalah kemauan untuk menulis itu sudah ada dalam diri saya. Dan, tak lupa saya ucapkan terima kasih telah sudi mampir ke blog ala kadarnya ini. Semoga kita dapat menjalin silaturahmi di dunia maya…

Salam Blogger,
Siti Uswatun Khasanah, S.Pd
Lanjut Baca>>

Mari Menulis

Banyak orang tidak sanggup untuk menulis. Mengapa? Karena keterampilan ini hanya bisa muncul kalau kita banyak membaca buku. Menulis dan membaca adalah satu kesatuan utuh. Itu sudah hukumnya, kata Mas Hernowo penulis buku best seller“Mengubah Sekolah”. Artinya, membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, bagaikan Romeo dan Yuliet. Saling memberi dan menerima (take and give).

Menulis itu ibarat pisau yang tajam. Bila tidak terus diasah, akan mengakibatkan pisau menjadi tumpul dan berkarat. Oleh karena itu menulis adalah sebuah keterampilan yang harus dikuasai, karena melalui proses yang cukup panjang. Tidak sekali jadi. Semua berproses, melalui latihan dan latihan langsung praktek sehingga tulisan yang dibuat menjadi bermakna bagi yang membacanya. Perlu sebuah kreativitas untuk menulis yang enak dibaca dan bermanfaat. Kreativiats muncul, bila terus didorong melalui berbagai latihan, termasuk latihan menulis.

Kalau guru ingin anak didiknya pandai menulis, maka guru itu harus memulainya dari dirinya dulu. Guru akan merasakan bagaimana sulitnya memulai menulis. Bila menulis sudah sering dilakukan oleh para guru sendiri, maka guru akan merasakan nikmatnya menulis. Mengapa? Dengan makin sering menulis, guru akan dapat membuat sendiri bahan atau materi yang akan diajarkannya kepada anak didiknya. Bila tulisannya bagus dan sudah banyak, maka akan dapat menjadi sebuah buku pelajaran yang layak untuk dicetak, dan diajukan ke penerbit prfesional. Guru pun akan mendapatkan royalty buku setiap tahunnya.

Oleh karena itu, yuk budayakan kebiasaan menulis di sekolah kita dari sekarang. Ajaklah anak didik kita untuk juga ikut menulis. Bila budaya menulis sudah tumbuh diantara guru dan anak didiknya, maka akan meningkatkan kualitas pembelajaran yang ada di sekolah.

Kreativitas akan muncul dari proses menulis itu. Akan terlihat mana guru yang kreatif, dan mana yang tidak dari proses menulis itu. Begitupun dengan peserta didik kita. Akan ketahuan mana anak yang terbiasa menulis, dan mana yang tidak terbiasa menulis. Anak harus didorong untuk dapat memunculkan kreativitas menulis. Potensi menulis mereka akan muncul bila sudah terbiasa menulis.

Banyak pakar mengatakan bahwa menulis dapat membangun kreativitas anak. Menulis dapat mendidik anak kita menciptakan sesuatu. Menciptakan buah pemikiran yang ada dalam otak peserta didik. Menelurkan ide ke dalam bentuk tulisan bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan sebuah pembelajaran kreatif agar proses kreatif itu muncul. Guru dan orang tua harus mampu mendorong anak-anaknya agar mampu mengembangkan kecakapan kreatif melalui menulis. Jadi guru harus dapat menciptakan pembelajaran yang kreatif, agar menulis menjadi pelajaran yang disukai oleh anak.

Pembelajaran yang kreatif adalah pembelajaran yang mampu mendorong kreativitas dan potensi siswa. Perlu terobosan baru dari guru-guru di sekolah. Untuk itu, para guru ditantang untuk mampu menciptakan proses pembelajaran yang bisa mengelaborasi antara materi pelajaran teori dan praktik secara menarik.
Kesempatan mengembangkan pembelajaran yang lebih kreatif itu sebenarnya cukup terbuka, apalagi dengan penerapan KTSP yang memberikan otonomi pendidikan pada sekolah masing-masing. Karena itu sekolah dan guru harus mampu memanfaatkan potensi mereka untuk menemukan cara mengajar yang demokratis dan mampu menggali potensi diri setiap siswa.

Belajar di kelas sekarang ini tidak bisa lagi satu arah. Justru guru yang harus berkreasi bagaimana materi pelajaran yang disampaikannya bisa dipahami secara baik oleh siswa. Oleh karena itu mari memulainya dengan cara menulis. Menulis adalah sebuah kreativtas yang dapat dimunculkan oleh guru dalam mentransfer ilmunya. Bisa lewat pembuatan blog di internet atau bisa juga mewajibkan anak didiknya menulis diarynya setiap hari. Semoga semakin banyak guru dan peserta didiknya yang senang menulis. Ingatlah selalu bahwa menulis adalah sebuah keterampilan dan bukan bakat. (kompasiana)

Lanjut Baca>>

Guru Oh Guru

Jasa Seorang Guru
(Gita Nur Fikri)

Guru…
Engkaulah yang mengajarku
Dan mendidikku
Serta memberi ilmu

Guru…
Kau mengajarku tanpa putus asa
Sekalipun engkau lelah

Guru...
Terimalah
Terima kasihku lewat bait puisiku
Maafkan aku
Karena tidak bisa membalas jasamu

Guruku…

Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
(Indar Rosanti)

Niatmu yang tulus dan suci
Mengantarkanmu datang ke sekolah ini
Lelah
Dahaga
Tak penah kau pedulikan
Demi kemajuan anak didik

Kesabaranmu memberikan ilmu
Sangat berarti bagi kami untuk bangkit dan maju
Kasih sayang
Pengorbanan
Dan perjuanganmu
Membuatku ingin sepertimu guru

Satu katamu membawa seribu kesempatan
Satu senyummu memberi sejuta kenangan
Nasihatmu adalah peringatan
Doamu memberikan sebuah harapan

Guruku…
Dirimu sosok yang mulia
Kau mengajarkanku tentang dunia
Darimu…
Semua harapan dan cita mampu tercipta
Sungguh engkau pahlawan tanpa tanda jasa

Puisi Ibu Guru
(Muhammad Yasri)

Jasamu tak pernah engkau ingat
Tak pernah engkau pinta
Oh ibu guruku
Teringat akan senyumanmu saat aku khilaf
Senyuman peringatanmu

Wajahmu yang begitu berseri
Seakan akan mengerti maksud dari hatiku ini
Tiada tempat aku mencurahkan perasaanku selain padamu
Oh ibu guruku

Ibu, engkau memang benar,
Engkau memang pahlawan tanpa tanda Jasa
Engkau mengajarkanku membaca dengan penuh keikhlasan
Engkau membimbingku dengan penuh perhatian
Hingga aku mampu melantunkan kata-kata seperti ini

Jasamu begitu besar
Begitu bermakna
Oh ibu guruku
Aku sangat ingin memberikanmu sesuatu saat engkau jauh
Saat aku tak lagi kau bimbing
Namun akan selalu kuingat wajah berserimu..

Percayalah sungguh akan sangat bermakna hidupmu ibu
Jadilah selalu orang yang mengajarkan kami membaca
Sungguh kami akan selalu menodakanmu
Kami akan selalu mengenangmu dalam setiap langkahku
Oh ibu guruku...
Puisi Guru Tentang Rasa Terima Kasih Untuk Guru

Guruku
(Nia Kania A. A.)

Engkau Guruku yang lahir dari ketulusan dan jiwa luhur
Membimbingku menatap luasnya ilmu dan dalamnya pengetahuan
Menuntunku dalam ketakwaan, kesopanan, kesusilaan dan adab yang luhur
Engkau mengajarkan tutur kalimat indah yang lembut
Menaburkan benih-benih kasih yang tiada lelah

Guruku,
Engkau adalah penumbuh kuat sayapku agar bisa terbang jauh menuju luasnya dunia
Engkau adalah obor dikala gelap pengetahuanku menemui kepekatan
Enam tahun sudah aku menimba ilmu
Enam tahun sudah aku dan teman-temanku kau tuntun dengan kesucian jiwamu
Setiap lembar kertas kutulis darimu untuk bekal menyongsong masa depan
Agar aku dan teman-temanku kuat menapak mantap meraih kemenangan

Kini saatnya kuucapkan rasa terima kasihku yang tiada tara
Kupersembahkan hadiah sebait puisi untukmu
Agar menjadi kenangan diantara kita bahwa pernah terjalin sebentuk kasih
Perpisahan ini bukanlah putusnya hubungan kita
Tetapi aku ingin melangkah menuju jenjang yang lebih tinggi
Aku akan selalu mengenangmu seputih jiwamu
Semoga Allah membalas semua kebaikan dan kebijaksaanmu
Semoga Allah membalas semua ketulusanmu dan pengabdianmu

Bacalah puisi guru tersebut dengan sepenuh hati. Anda tentu akan merasa bahwa kita tentu akan mencintai guru kita atas apa yang sudah mereka lakukan untuk kita. Puisi guru tersebut dapat mewakili rasa terima kasih kita untuk guru.

Guruku
(Michael C. Kosasih)

Bagaikan cahaya di gelap malam
Bagaikan tetes embun di padang gersang
Kehadiranmu …
Leburkan ilmu dalam benakku

Guruku …
Kasih sayang
Ketulusan
Kelembutanmu …
Tanpa pamrih
Kau membimbingku
Dari tak tahu apa-apa
Kini aku hampir tahu segalanya

Guruku ...
Padamu aku berguru
Padamu aku meniru


Puisi Buat Guruku
(Annida Miftakhul Farodisa)

Oh guru...
Engkau pahlawanku...
Engkau bungaku...
Engkau penyejuk hatiku...

Oh guru...
Engkau bak hujan...
Yang kadang-kadang turun...
Karena kepintaranmu...

Oh guru....
Aku bisa pintar...
Karena ilmu yang kau berikan...

Oh guru...
Aku tidak bisa membalas kebaikanmu...
Karena kau pantas disebut...
Dengan pahlawan tanpa tanda jasa...

Dari puisi-puisi tersebut, jelaslah terlihat bahwa banyak hal yang telah dilakukan oleh guru sehingga anak didiknya berhasil. Tanpa kenal lelah, guru berusaha memberikan semua ilmu yang dimilikinya dan mengajarkannya kepada anak didiknya. Jadi, sudah jelas bahwa setiap anak didik harus berterima kasih kepada gurunya. Salah satu bentuk terima kasih yang bisa dilakukan oleh anak didik adalah dengan membuat puisi guru.
Puisi Guru Tentang Guru Pun Tetap Belajar

Seorang guru pun harus tetap belajar. Itu karena ilmu selalu berkembang dan guru pun harus terus berkembang mengikuti perkembangan ilmu. Berikut ini puisi guru yang ditulis oleh Kahlil Gibran.

Guru
(Kahlil Gibran)

Barang siapa mahu menjadi guru,
biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri
sebelum mengajar orang lain,
dan biarkan dia mengajar dengan teladan
sebelum mengajar dengan kata-kata.

Sebab mereka yang mengajar dirinya sendiri dengan memperbetulkan perbuatan-perbuatannya sendiri
lebih berhak atas penghormatan dan kemuliaan
daripada mereka yang hanya mengajar orang lain
dan memperbetulkan perbuatan-perbuatan orang lain.


PUISI UNTUK GURU
Karya : Jhonny Al-Fharidzi

Engkau bagaikan cahaya
Yang menerangi jiwa
Dari segala gelap dunia

Engkau adalah setetes embun
Yang menyejukan hati
Hati yang ditikam kebodohan
Sungguh mulia tugasmu Guru
Tugas yang sangat besar

Guru engkau adalah pahlawanku
Yang tidak mengharapkan balasan
Segala yang engkau lakukan
Engkau lakukan dengan ikhlas

Guru jasamu takkan kulupa
Guru ingin ingin kuucapkan
Terimakasih atas semua jasamu

GURU
Oh guru...
Engkau pahlawanku...
Engkau bungaku...
Engkau penyejuk hatiku...

Oh guru...
Engkau bak hujan..
Yang kadang-kadang turun...
Karena kepintaranmu...

Oh guru....
Aku bisa pintar..
Karena ilmu yang kau berikan...

Oh guru...
Aku tidak bisa membalas kebaikanmu...
Karena kau pantas disebut..
Dengan pahlawan tanpa tanda jasa...


PAHLAWAN TANPA LENCANA
Pagi yang indah deruan angin menerpa wajah
Dingin menyelimuti langkah penuh keikhlasan
Renungan hanya untuk sebuah kejayaan
Berfikir hanya untuk sebuah keberhasilan

Tiada lafaz seindah tutur katamu
Tiada penawar seindah senyuman mu
Tiada hari tanpa sebuah bakti
Menabur benih kasih tanpa rasa lelah

Hari demi hari begitu cepat berlalu
Tiada rasa jenuh terpancar di wajah mu
Semangat mu terus berkobar
Memberikan kasih sayang tiada rasa jemu

Jika engkau akan melangkah pergi
Ku tau langkahmu penuh pengorbanan
Jika dirimu telah tiada dirimu kan selalu di kenang
Kau adalah pahlawan tanpa lencana.

GURUKU
Suci dan iklas pemberian mu
Dari kami buta menjadi tau
Suci dan ikhlas pengorbanan mu
tiada ternilai jasa baik mu

Engkau laksana lampu dalam kegelapan
Yang menerangi alam kalbuku
Engkau bagaikan angin
Yang selalu berbisik tentang kebaikan

Namamu selalu bergelora
Dalam hatiku
Jasa dan benih yang engkau tanam
Kini telah tumbuh bersemi

Terpujilah engkau wahai guruku pahlawan hidupku

PUISI UNTUK GURU
Orang kata guru itu penat
Gaji tak seberapa kerja berlambak
Aku kata guru itu rehat
Mengajar tak seberapa tapi penuh berkat
Kerja sekerat-sekerat pahala penuh sendat
Ilmu yang dicurah tak dapat disekat
Makin dicurah makin mendekat

Orang kata guru itu sungguh bosan
Setiap tahun muka sama setiap bulan
Aku kata guru itu singguh riang
Sekali berkata murid ketawa girang
Bila berjaya murid terus menjulang
Jasa bakti tak pernah hilang

SEKUNTUM BUNGA UNTUK GURU-GURU TERCINTA
Allah ciptakan matahari,
yang tak pernah bosan bersinar,
seperti halnya semangat dan kasih sayangmu dalam mendidik kami,
wahai guruku......

Allah ciptakan bulan untuk menerangi malam,
seperti halnya engkau bu guru,
yang selalu membimbing dan menerangi kami dengan berbagai ilmu

Allah ciptakan bintang dimalam hari sebagai penghias,
seperti halnya engkau bu guru,
yang selalu menghiasi hari-hari kami dengan begitu indahnya.

Allah ciptakan bunga yang begitu harum,
seperti halnya engkau bu guru

yang telah memberikan keharuman pada hari-hari kami,
selama kami bermain dan belajar disekolah.
Lanjut Baca>>

Informasi CPNS Purbalingga 2012

Pemkab Purbalingga masih menunggu surat resmi dari pemerintah pusat sebagai dasar seleksi penerimaan CPNS dari formasi umum tahun 2012 ini. Pemkab sangat menyambut baik rencana seleksi CPNS itu. Pasalnya, Purbalingga sempat menunda pelaksanaan seleksi penerimaan CPNS dari formasi umum karena terganjal moratorium.

Bupati Purbalingga,Drs Heru Sudjatmoko Msi mengatakan sampai saat ini belum ada berita resmi yang diterima Pemkab Purbalingga. “Insyaallah, pemkab siap jika sudah ada informasi resmi dari pemerintah pusat,” ujarnya singkat.

Hal yang sama dikatakan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Purbalingga, Wahyu Kontardi, kemarin. Pihaknya belum bisa menginformasikan lebih jauh mengenai perihal seleksi CPNS formasi umum itu.

Sementara itu, dari hasil pendataan kebutuhan riil pegawai di kabupaten Purbalingga hingga akhir Desember 2011 oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Purbalingga masih kekurangan hingga 1.890 pegawai negeri. Jumlah itu berasal dari jumlah pendataan kebutuhan dikurangi kondisi pegawai riil saat ini sebanyak 9.920.

Kebutuhan masih mendominasi di tenaga pendidik (guru). Masing- masing dengan rincian jumlah guru 5.776 dan kebutuhan hasil pendataan 7.026. Jadi masih ada kekurangan sampai 1.250 orang guru. Lalu jumlah tenaga kesehatan masih kurang hingga 38 orang dan sekdes 114 orang serta sisanya tenaga teknis lainnya.

Kabar rencana seleksi penerimaan CPNS dari formasi umum itu sudah terdengar oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang masih berharap tahun ini Purbalingga menggelar seleksi itu.

Lukman, warga Purbalingga mengatakan sempat beredar kabar tahun 2012 ada pembukaan dari formasi umum dari sejumlah media massa cetak. Hanya saja di kabupaten Purbalingga belum ada tanda- tanda diumumkan di papan dinas terkait.

Saya juga sempat cari di internet belum menemukan informasi yang pasti. Namun harapan saya tahun ini Purbalingga bisa segera memastikan adanya formasi dari seleksi umum itu,” ujar lulusan Ekonomi ini, kemarin.

Bahkan tak hanya dari lulusan strata satu yang berharap, lulusan diploma tiga juga masih banyak berharap segera digelar penerimaan CPNS dari formasi umum itu. “Kalau masih ada kesempatan untuk ikut seleksi, harus dimanfaatkan dan saya selalu siap. Hanya saja kepastian dibuka yang belum ada,” kata Apri, lulusan Pertanian salah satu Universitas di Purwokerto

Lanjut Baca>>

Resensi Novel “Nayla” Karya Djenar Mahesa Ayu

Novel karya Djenar Mahesa Ayu ini adalah novel lama. Namun, tak ada salahnya jika kita kembali mengingat resensi novel ini. Tokoh utama “Nayla” adalah seorang perempuan muda, yang harus meninggalkan ibunya sejak berumur 13 tahun untuk belajar hidup mandiri. Nayla, demikian nama tokoh utama cerita, mengalami rasa kecewa ketika ia teringat dengan sosok ibunya yang menjebloskan dirinya ke rumah Perwawatan Anak Nakal dan Narkotika. Sejak itu ia menjadi frustrasi. Ia meninggalkan ibunya dan belajar hidup mandiri.

Dalam menjalani kehidupan, Nayla mulai berhadapan dengan berbagai konflik/pertentangan batin, baik pertentangan terhadap dirinya sendiri maupun reaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Di dalam diri tokoh kadang-kadang timbul persepsi negatif tentang makna kehidupan. Dari berbagai fenomena yang dialami oleh tokoh cerita, muncul kekuatan mental dan pemahaman baru tentang cara memaknai kehidupan. Karena terus dirundung berbagai konflik, akhirnya telah menghasilkan perubahan sikap pada sang tokoh cerita. Ia akhirnya larut dalam kehidupan malam, bekerja sebagai penata lampu di sebuah nite club. Apa yang dilakukan oleh Nayla, sang tokoh cerita adalah sebagai bentuk pelarian dari lingkungan keluarga sehingga lama kelamaan ia hanyut dalam lingkungan yang baru yang serba gemerlapan yang kini selalu menghantui hidupnya.

Sejak Nayla berumur 2 tahun ayah dan ibunya bercerai. Kemudian, Nayla dibesarkan oleh ibu. Cara didikan ibu sangat keras dan kejam. Nayla dilarang untuk mencari siapa ayahnya. Namun, diam-diam Nayla menyelidiki dan mencari siapa ayahnya. Pada suatu saat ia bertemu dengan ayahnya yang ternyata telah beristri lagi. Sejak itu, Nayla sering ke tempat ayahnya. Perbuatan ini diketahui oleh ibu. Akibatnya, ibu marah besar kepada Nayla dan mengusirnya. Namun, pertemuan Nayla dengan ayah hanya sebentar. Ayahnya meninggal dunia.

Sejak kematian ayahnya, Nayla sedikit mengalami perubahan. Ia frustrasi dan kecewa, seperti membolos dan suka tertawa-tawa sendiri. Keganjilan ini diketahui oleh ibu tirinya. Kemudian, Nayla dituduh pengguna Narkoba. Dengan akal licik ibu tirinya dan meminta izin dengan ibu kandungnya, Nayla dijebloskan ke rumah Perawatan Anak Nakal dan Narkotika. Nayla tak tahan dengan usaha keras ia bisa kabur dari tempat itu bersama-sama dengan temannya. Nayla tidak pulang ke rumah ia numpang ke tempat temannya. Ia mulai belajar hidup mandiri. Ia mulai pekerjaan apa saja, seperti merampok dan mencuri. Akhirnya, ia dan teman-temannya ditangkap polisi.

Hidup Nayla tidak tentu arah. Ia tidur di terminal. Ia melamar pekerjaan dan diterima sebagai penata lampu di sebuah nite club atau diskotek. Ia mulai belajar hidup mandiri. Menyewa rumah sendiri dan memenuhi keperluan sehari-hari.

Ia bertemu dengan Juli seorang wanita yang bekerja di diskotek, mereka berdua menjalin hubungan layaknya sepasang kekasih, Nayla tidak peduli dengan pandangan orang lain, yang penting ia bahagia disamping Juli, Juli seseorang yang pencemburu ia tidak suka melihat Nayla bersama laki-laki ataupun perempuan lain. Baginya Nayla seseorang yang wajib ia lindungi dan sayangi. Juli memutuskan meninggalkan Nayla karena ia pindah ke Surabaya dan baginya terlalu sakit menajalani cinta jarak jauh, maka ia pilih itu menyerah dengan cinta.
Nayla juga bertemu dengan Ben laki-laki yang sejak pandangan pertama mencintai Nayla, ia bersabar dengan perangai Nayla yang keras. Sampai akhirnya mereka putus karena Ben selingkuh.

Di tempat itu (diskotek) ia mulai mengenal rokok dan minuman. Hidupnya semakin bebas, mulai dari cara berpakaian, berdandan, dan bergaul. Berbagai konflik mulai muncul pada dirinya, baik pertentangan terhadap dirinya sendiri maupun reaksi lingkungan sekitarnya. Misalnya, ia putus dengan pacarnya, berpisah dengan ibunya, teman wanitanya, sampai ia berubah profesi menjadi penulis. Di dalam diri tokoh kadang-kadang timbul persepsi negatif tentang makna kehidupan. Berkat kegigihannya, akhirnya Nayla sukses menjadi pengarang. 
Lanjut Baca>>

SETANGKAI ANGGREK GUNUNG

Setara dengan hutan belantara di zaman purba adalah rimba raya Mardugu, kurang lebih seratus kilometer arah selatan Padang Sidempuan. Kanopi tebal hutan heterogen menjamin tak ada seberkas sinar mampu mencapai permukaan tanah sepanjang masa. Hutan perawan yang abadi, kelam dan dingin.

Hutan itu sering diibaratkan orang sebagai tempat bunuh diri. Tempat segala dedemit berkembang biak. Seorang ibu yang marah kepada putranya biasa mengeluarkan ancaman dengan: “Kalau kamu nakal terus ibu akan pergi ke Mardugu, biar kamu tidak punya ibu lagi!” Atau seorang pemuda bersumpah kepada kekasihnya dengan, “Kalau aku berdusta kepadamu maka aku rela mati dihisap hantu Mardugu!”

Hutan itu dialiri sungai berwarna kemerah-merahan, maka dinamai Sungai Bara. Mitos meyebut warna merah itu adalah darah kematian dari orang-orang yang tersasar……, tetapi sesungguhnya adalah hasil fermentasi humus tebal yang tiada henti. Di beberapa tempat terdapat telaga dengan air hitam pekat. Mata air yang merembes dari bawah akar pepohonan mengesankan bahwa tempat itu ideal untuk habitat harimau, atau ular sebesar batang kelapa!

Sesungguhnya hutan itu bukan tak pernah dilewati orang. Ada jalan setapak menyerupai ’sawah’ memotong persis di tengah: Jalur transportasi kuda beban. Namun untuk melintasinya diperlukan persiapan ekstra. Seseorang harus memiliki ajimat yang hebat, atau ia menunggu kawan untuk membentuk rombongan. Jika mencoba nekad seorang diri besar kemungkinan takkan pernah keluar lagi, ditangkap bangsa jin atau dimangsa binatang buas.
Seperti hari itu, tiga lelaki mengiringi tiga ekor kuda beban berangkat dari kota kecamatan di pagi buta. Tak diragukan lagi, mereka akan menyeberangi Mardugu. Ketika sampai di tepi hutan itu, masing-masing membaca rafalan-rafalan penangkal setan. Kemudian masuk dengan perasaan was-was.

Sampai tengah hari mereka belum keluar, bahkan masih di pertengahan hutan itu. Di tempat yang konon paling rawan, memotong Sungai Bara. Akhir-akhir ini air sungai itu menjadi sangat merah dan berbau. Di tempat ini dikabarkan perjumpaan dengan ‘hal-hal aneh’ adalah biasa. Seorang pembual bercerita bahwa ia pernah berpapasan dengan ular berkepala manusia.

Hayo, lapuk. Tarik!”
Angkat!”
Awas tunggul! Hiyaaa!”

Tiga lelaki di belakang tiga ekor kuda yang sarat beban. Dan hewan-hewan itu seakan mengerti bahasa manusia. Kaki-kakinya berkecipak hebat. Moncong-nya berulangkali terbenam dalam lumpur, mengeluarkan seluruh tenaga untuk menyeret perutnya yang mengapung di atas kubangan. Pada musim kemarau lumpur menjadi sangat lengket.
Dibutuhkan waktu tujuh jam penuh berjalan kaki tanpa henti untuk menyeberangi hutan itu, dengan kuda jantan paling tangguh sekalipun.

Menjelang sore mereka keluar di ujung dunia. Jalan setapak masih berlanjut. Berbelok ke kanan untuk melompati suatu ketinggian. Tusam liar dan lumut batu saling melengkapi untuk suasana pegunungan yang sejuk namun memendam bahaya. Kemudian terdengar gemercik air. Setelah melewati dua batu besar yang mengapit di kanan dan kiri, jalan itu tiba-tiba turun tajam hampir menyentuh daun kelapa dan bubungan atap rumah. Pemukiman manusia!

Itulah salah satu perkampungan di belakang hutan Mardugu. Mungkin masih ada kampung lain tersembunyi di balik bukit, dengan nama masing-masing. Tapi popularitas Mardugu lebih di kenal orang. Maka seluruh pemukiman itu lazim disebut Kampung Mardugu, dan warganya disebut orang-orang Mardugu. Berkunjung ke sana diistilahkan orang dengan pergi ke balik dunia.

Salah satu di antara pengiring kuda mengeluarkan selembar surat dari saku bajunya dan menunjukkannya kepada anak-anak yang berkerumun menonton lumpur di perut kuda:
Kalian bergembiralah. Tak lama lagi kalian akan bersekolah lagi. Akan ada guru baru datang ke sini. Kumpulkan lagi buku-buku dan seragam sekolah!” katanya. Surat itu diserahkannya kepada Kepala Kampung.

Berita akan datangnya guru baru menyebar dengan cepat. Bukan hanya anak-anak yang bergembira, tapi orangtua mereka pun bersuka cita.
Demikianlah, pada tahun 1985, bulan Agustus, bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan ke empat puluh. Mardugu berbenah dan menghias diri habis-habisan!
Mereka menunggu tamu. Dan tamu itu adalah seorang guru. Dalam tindasan surat dinas yang mereka lihat tertera jelas; nama guru itu adalah Maida, seorang gadis usia dua puluhan. Guru khusus agama. Lahir di kota kabupaten Padang Sidempuan. Tentu saja, ia gadis kota.
Aduhai, semoga menjadi kenyataan! Sudah lama di desa itu tak ada guru. Anak-anak tidak berangkat sekolah dan bangunan sekolah terlantar. Guru terakhir, seorang lelaki setengah baya. Hanya sebentar, lalu ia permisi cuti dan tak pernah kembali lagi. Sekarang akan datang pengganti. Seorang gadis pula. O, ia pasti cantik dan semoga belum punya kekasih!
Janur kuning di pasang di gerbang kampung. Dan dibuat berantai di kedua sisi bilah-bilah bambu yang dianyam menggantikan permadani, menuju rumah kecil yang telah dipersiapkan, di tengah kampung.
Sang Pemberi Rejeki yang luhur! Dapatkah gadis itu melintasi Mardugu? Mencapai desa ini dengan selamat? Lalu, apakah gadis itu betah tinggal disini nanti? Memberikan pelajaran agama kepada warga di sini?
Jika gadis itu benar-benar muncul di ujung desa, seluruh warga akan menyambutnya dengan marhaban, suatu tradisi menyambut tamu terhormat. Mereka akan mengiringi langkahnya dengan tambur. Seperti pengantin, ia akan disiram dengan beras kuning dan tepung tawar, ucapan selamat datang!
Dan pada hari yang ditentukan itu sekelompok orang diutus menjemput ke kota kecamatan. Mengawal guru itu melintasi hutan Mardugu ….
*****
Di Mardugu. Ibu-ibu telah menyelesaikan persiapan terakhir mereka. Gulai kambing untuk perjamuan. Para remaja, putra dan putri terus menerus menyempurnakan susunan manggar dan bunga puring yang diikatkan di tiang gerbang-gerbang. Antara sebentar menoleh ke ujung desa, kalau-kalau rombongan itu muncul. Penantian selalu membosankan.
Sejarah mencatat doa orang-orang Mardugu dikabulkan. Ditandai dengan teriakan seseorang yang gopah-gopoh: “Ayo, semua kumpul! Dimana pemukul tambur? Bunyikan gendang! Guru kita sudah datang. Ayo, semua!”

Berikutnya menyusullah kejadian-kejadian kecil yang mengundang gelak tawa.
Maida, gadis idaman itu, tolah-toleh. Tidak mengerti bahwa dirinya disambut dengan upacara kehormatan. Tak mungkin. Aku hanya guru sekolah dasar, demikian ia berpikir. Mungkin ada orang lain dalam rombongan itu. Tapi siapa?

Ibu guru kami, selamat datang,” seorang lelaki tua dalam pakaian adat lusuh berdiri di atas batu pada posisi yang agak tinggi, “Terangilah desa kami dengan sinar ilmu pengetahuan. Bekalilah anak-anak kami dengan budi pekerti yang luhur …”

Jelaslah, Maida yang dituju. Pikirannya bertambah kisruh. Penyambutan semacam ini jauh di luar perkiraannya yang paling gila. Disanjung setinggi langit membuatnya panik. Zaman purbakala sudah lama lewat. Ternyata upacara seperti ini masih dipelihara orang.
Seorang ibu datang ke depannya dengan sombol sirih. Maida kikuk.

Apa ini?”
Sekapur sirih, Bu Guru. Dengan gambir dan sekerat pinang. Untuk dimakan, menghangatkan badan, menghangatkan perasaan!”
Diapakan? Bagaimana rasanya?”
Makan sajalah, Bu Guru!”

Maida memakannya. Pedas dan sengak. Dikunyahnya saja dan ditelan habis.
Berikutnya ia disiram beras kuning, tepung tawar yang diaduk dalam cairan santan. “Semoga jiwa ragamu mendapat berkah di kampung ini. Lepaskanlah semua pengaruh jahat ketika melewati hutan Mardugu. Damailah bersama kami. Bersenang hatilah tinggal di kampung ini!”
Dalam kebutaan total terhadap remeh-temeh upacara adat, Maida hanya berpikir untuk tidak mengecewakan orang banyak itu. Maka ia bertindak sesuai intuisi saja. Ia tak mengerti harus berbuat apa dan mengatakan apa. Ketika seseorang memintanya untuk menjawab sepatah kata saja, ia malah tertawa.

Ketika sampai di rumah yang akan ditinggalinya, seseorang membawa bumbung bambu berisi air untuk membasuh kaki. Setelah itu mereka naik dan Maida dipersilahkan duduk di atas tikar berlapis sampang. Tak lama kemudian penganan dikeluarkan. Dan kehadapannya disodorkan nampan berisi sesuatu yang ditutupi daun pisang. Ketika seseorang mengucapkan pantun sambil membukanya, Maida hampir meledak dalam tawa. Ternyata kepala kambing yang sudah dimasak. Masih utuh!

Untuk apa ini?”
Untuk dimakan, Bu Guru!”
Begini? Bulat-bulat begini?”
Ibu guru itu ketawa lepas. Orang-orang pun ikut tertawa. Ibu Guru yang muda dan polos. Dan kepolosan itu membuat orang-orang makin jatuh hati kepadanya.
*****
Terbukti bahwa Mardugu terbuka dan mendambakan kemajuan. Bangunan sekolah yang reot itu segera dipugar. Dinding yang miring diluruskan kembali. Belukar di sekelilingnya ditebas. Dan Ibu guru yang baru datang itu dihormati melebihi dewi.

Ibrahim, kepala kampung Mardugu, orang-orang memanggilnya dengan sebutan ‘ketua’, memperingatkan warganya dengan sangat arogan. Khususnya kepada pemuda-pemuda kampung, ia berkata. “Kalian semua! Aku tahu, kalian akan meruap seperti berudu kalau melihat seorang gadis. Kuperingatkan kalian bahwa ini bukan gadis seperti yang biasa kalian goda-goda. Kalau sempat ia mengeluh kepadaku karena tingkahlaku kalian, maka lihat saja, kalian akan kukejar sampai lobang semut …”

Kepada Maida, Ketua itu berkata: “Ibu Guru yang terhormat. Di sini saya menjadi orangtua bagimu. Aku bertanggungjawab penuh terhadap segala hal. Maka jangan kuatir. Mengajarlah dengan tenang, bekerjalah dengan tekun!”
Maida merasa tersanjung.

Sungai kecil yang mengalir di tengah desa itu telah dicabangkan sedikit menuju bangunan kecil terbuat dari kayu beratap seng. Tempat mandi khusus Ibu Guru. Tidak ada yang orang diperkenankan mendekati bangunan khusus itu, atau akan menanggung resiko!

Di sekolah, ternyata Maida tidak hanya mengajarkan agama, tapi seluruh mata pelajaran. Ia hanya seorang diri, satu guru untuk semua. Barangkali merupakan perkecualian pula, bahwa muridnya bukan hanya anak-anak, tetapi juga orangtua yang hendak belajar tulis-baca di ujung hidupnya. Dan ruang kelasnya bukan hanya di bangunan sekolah, tapi merambat sampai kediamannya, atau dimana saja mereka berjumpa dengan gurunya.
Pagi itu Maida mendamaikan dua anak lelaki yang bertengkar antar sesamanya.

Mengapa bertengkar?”
Dia tidak memelihara sopan santun!” jawab salah satu anak, “Ia menyebut nama Ibu Guru!”
Apa yang ia katakan?”
Ia menyebutkan nama Ibu Guru. Katanya….nama guru itu.. Maida!”
Nah, kamu juga menyebut!” potong anak satunya langsung.
Maida terseyum geli, tak mengerti, “Apa itu salah?”

Untuk pertama kali Maida menyadari bahwa menyebutkan nama seorang guru termasuk larangan pula. Jika terpaksa menyebutkannya seseorang harus mengawali dengan tabik, jika memang benar-benar diperlukan.

Sudah menjadi kebiasaan pula bagi warga Mardugu memanjakan guru kesayangan itu dengan gaya mereka sendiri. Jika mereka mendapatkan ikan di sungai atau di kolam, mereka akan berkata: ” Sisihkan yang paling besar untuk Ibu Guru”. Atau jika membawa durian dari kebun: “Pilihkan yang paling bagus untuk Ibu Guru!”

Sekali waktu Maida mengungkapkan kekagumam atas cerita muridnya bahwa di bukit batu dekat kampung itu ada kambing gunung berkeliaran di alam bebas, ia dipenuhi rasa ingin tahu. Apakah ukuran tubuhnya sama dengan kambing biasa? Ketika kepala kampung mendengar berita itu ia segera mengumpulkan para bujang untuk pergi berburu: “Kalian harus mendapatkannya. Tangkap seekor dalam keadaan hidup!”

Hari hari menjadi hangat dan menyenangkan. Jika malam terang bulan, Maida duduk di tangga rumahnya. Anak-anak muridnya ikut berkumpul memainkan tari tumba. Sejenis tarian sambil bernyanyi. Gerakannya hanya mengandalkan tepuk tangan dan ayunan kaki.
Hijau, hijaulah daun havea, o, ibu.
Lambang keindahan negeri ini.
Tanah yang subur dan makmur
Bahagia selama-lamanya…..

Maida tak pernah tahu siapa pencipta lagu ini dan mengapa anak - anak di kampung ini hanya mengenal lagu-lagu semacam itu. Maida tidak mengingkari fakta bahwa ketika melamar menjadi guru persepsinya adalah pekerjaan dan gaji! Tetapi setelah berbhakti di pedalaman ini Maida memperoleh sebuah penghayatan baru. Pengabdian dan dharma bakti sangat mengesankan. Ia bersyukur bahwa ia menjadi guru. Dan ia mendapatkan tempat yang sangat tepat.

Jika malam telah larut Maida kerap hanyut dalam alunan suara seruling. Sayup-sayup meniti angin yang berhembus dari hutan Mardugu. Sebelumnya Maida tak pernah mengagumi musik, tapi di Mardugu sungguh berbeda. Ia ingin tahu siapa sesungguhnya pemuda peniup seruling itu, tapi ia selalu malu untuk bertanya. Dan tak pernah seorang pemuda pun berani mendekati tangga rumahnya!

Pemuda Mardugu mempunyai kebiasaan kalong. Hidupnya bergairah di waktu malam. Lintas-melintas antar kampung. Maida berpikir apakah orang-orang itu tidak takut disambar macan. Jika sedang menganggur atau patah hati mereka berkumpul untuk bernyanyi. Tapi syair lagu mereka selalu itu-itu saja: Perjuangan menempuh kehidupan, pemujaan terhadap negeri atau kisah kehidupan pahlawan negara.

Mau tak mau Maida menyadari sebuah ironi. Manakala anak-anak dan remaja di kota kelahirannya sibuk dengan kemerosotan moral, bahkan menyanyikan lagu-lagu yang melukai etika. Jadi dimanakah sebenarnya kesenian itu berkembang sehat? Itu semua membuatnya semakin mencintai kehidupan desa. Semakin terikat di Mardugu!
Tanpa terasa, dua tahun telah berlalu.

Maida telah jadi anak kandung Mardugu. Telah terbiasa dengan suasana hidup Mardugu. Hingga sampailah waktunya ……..
*****
Seorang perwira tentara berpangkat letnan memasuki kampung itu suatu sore. Di kawal oleh dua orang pemuda asing. Lumpur hitam yang mengotori baju lorengnya menciptakan kesan gagah sekaligus sangar. Bahwa ia telah melewati hutan Mardugu dengan susah payah, karena hanya itulah jalan satu-satunya memasuki kampung di balik dunia ini. Dan sudah pasti ia datang untuk suatu urusan yang sangat penting, yang tak bisa ditunda.


Seorang ibu yang melihat tamu tiba-tiba ini tak tahan untuk tidak menyapa. Ragu-ragu ia keluar dari kolong rumahnya.

Hendak kemana, Tuan?”
Mencari rumah kepala kampung. Dimana?” jawab tentara itu. Suaranya tegas.
Oh…!” Ibu itu menahan napas. Mungkin telah terjadi kekeliruan. Ia menunjuk dengan pikiran kacau, “Disana. Ada apa?”
Saya hendak menemui Maida!”
Ibu guru kami. Mengapa ia dicari!”
Saya akan mengambilnya!”
Ibu itu langsung tertegun. Matanya melolong tak mengerti, “Mengambil bagaimana…!”
He he he, ibu jangan kaget begitu. Saya akan mengambilnya untuk dijadikan isteri, tentu!”
Ah, bapak ini, bagaimana ini…..”
Betul! Ini sungguh-sungguh!”
Kalau begitu …., kita harus ke rumah ketua.”

Dan mereka beriringan menuju rumah dimaksud.
Seorang anak yang tadi membantu ibunya menyusun kayu bakar di kolong rumah menguping pembicaran itu. Yang dilakukannya kemudian adalah mengikuti tuntutan nalurinya sebagai bocah kelas tiga sekolah dasar.

Ia berlari menuju rumah Ibu Gurunya untuk berita yang menggemparkan ini. Ketika rumah itu ternyata kosong ia berlari menuju pemandian.
Tanpa memperdulikan larangan mendekati kamar kecil itu ia menerobos masuk. Ternyata betul, Ibu Guru sedang mandi.
Hei, mengapa masuk?”
Anak itu tak perduli. Ia memegang bahu Ibu guruya yang berlumur sabun, dan memaksanya berhadapan.
Ibu Guru dicari orang!” bisiknya.
Heh? Siapa?”
Ada orang, pokoknya. Ibu tidak punya janji, kan? Ibu guru tidak akan pergi, kan?”
Tidak…” Ibu guru menampakkan wajah heran, “Tamu dari mana?”
Tidak tahu! Sedang ditanyai ibuku!”
Begini saja, kamu pulanglah dulu, beritahu supaya menunggu. Bilang, Ibu guru sedang mandi!”
Tapi, ibu guru tidak bohong, kan?”
Bohong? Mengapa aku harus berbohong? Pulanglah!”

Dan anak itu pulang dengan wajah berseri. Ia telah mendapat kepastian yang ia inginkan. Bahwa ibu guru tidak akan pergi. Itu cukup baginya.
Namun anak kecil itu telah membuat Maida terburu-buru. Mungkin saja orangtuanya dari kota datang karena Maida terlalu lama tidak mengirim kabar. Atau siapa? Ia sendiri tak ada bayangan!

Ia keluar dari kamar mandi dengan handuk di kepala. Beberapa lembar cucian ditinggalkannya begitu saja. Ia naik tanggul. Tapi disitu ia menemukan dua orang muridnya yang lelaki telah menunggu pula.
Ibu guru dicari tentara.”
Siapa? Ada tentara mencariku?”
Tunggu, Bu Guru!” kata anak yang lain, melihat ibu gurunya hendak meneruskan langkah, “Kita tunggu disini. Jangan pulang dulu!”
Mereka mengamankan ibu gurunya dengan cara mereka pula. Pikiran anak-anak itu tidak nyaman jika harus berurusan dengan tentara. Apapun keperluannya. Bebarapa saat lamanya Maida berhenti disitu ditahan oleh anak muridnya. Sangat bimbang! Apa sebenarnya yang terjadi? Adakah sesuatu kesalahan? Akhirnya ia memaksakan diri dengan berkata: “Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa. Tidak ada apa-apa!”

Dan ia pulang.
Di rumah kepala kampung terjadi pembicaraan seru. Orang-orang berkumpul, sampai luber ke depan pintu. Di dalam, Ibrahim sedang berbicara dengan tentara itu. Dan pembicaraan itu didengar oleh semua warga yang berjejal sampai halaman.
Ini tidak masuk akal….” Keluh Kepala Kampung dengan nada putus asa. “Bagaimana bisa mendadak seperti ini! Dan Ibu Guru tidak pernah bercerita kepada kami soal ini!”
Begitulah , Pak Ketua. Orangtuanya meminta saya menjemputnya kesini!”
Ah, ya ….”
Mohon maaf, atas kedatangan saya yang mendadak ini. Saya memanfaatkan waktu cuti, jadi segalanya terpaksa mendadak!”
Ya, ya…, aku tahu. Tentara selalu terburu-buru. Tapi ini keadaan yang sulit, sangat sulit!” katanya, dan matanya menerawang jauh. Kemudian ia berkata kepada seorang wanita di depan pintu, “Pergilah untuk memanggil Ibu Guru kesini!” Tapi ia segera meralat perintahnya, “O, biar aku saja. Aku akan menanyainya dulu sebelum sampai ke sini. Aku ingin tahu jawabannya dulu!”

Dan ia bergegas.
Di perjalanan menuju kediaman Ibu Guru, ia merasakan dilema berat menghimpit kepalanya. Kampung ini akan kembali kehilangan guru. Soal pengganti itu mudah, tapi Ibu guru ini, alangkah menyatu dengan Mardugu. Semua warga mencintainya. Seorang ibu yang mengejarnya dan membisikkan permohonan agar lamaran tentara ini ditolak saja, setidaknya waktunya diulur…… Itu semua menjadi bukti bahwa melepaskan Ibu Guru ini untuk pergi bukan perkara mudah!

Namun di satu sisi ia menyadari fakta, bahwa Ibu Guru mereka itu adalah seorang gadis. Dan sejak awal ia bertekad menjadi orangtuanya dalam segala hal. Jika Maida itu adalah puterinya, bagaimanapun ia pasti berpikir soal menantu. Jika demikian, maka puterinya telah mendapatkan jodoh yang sepadan. Seorang gadis yang hebat bertemu pemuda yang hebat! Ia tidak bisa mengesampingkan pandangan ini ketika ia bicara dengan Maida.

Temuilah ia di rumahku!”
Aku tidak mau!” jawab Maida. Untuk pertama kali Ibu Guru ini mengeluarkan kata-kata yang begitu tegas, “Mengapa ia datang mendadak?”
Ia juga mengakui itu. Tapi karena cutinya sangat pendek, ia tak punya jalan lain!”
Aku tidak mau!”
Penolakan yang ketat itu membuat Kepala Kampung merasa ia tidak lagi berhadapan dengan Ibu Guru, tapi sedang menghadapi putrinya sendiri. Dan jika begitulah adanya, maka campur tangannya dalam masalah ini tak lagi berarti. Ia pulang dengan kepastian, “Jika tentara itu hendak menjadi menantuku, ia harus berjuang sendiri meraih keinginannya…” Dan ia pun pulang.

Namun ketika ia berbalik, ia hampir saja bertubrukan dengan tentara itu. Maida juga terkejut dengan pemunculannya.
Maafkan kedatanganku. Seperti yang kukatakan dahulu, setelah pulang dari Timtim, tugasku yang pertama adalah menemuimu!”
Tiba-tiba sekali. Mengapa tidak memberitahu lebih dulu. Setidaknya ada kabar…..”
Itulah!” jawab tentara itu. “Aku sudah menelpon tapi tidak menyambung. Rupanya belum ada kabel melintasi Mardugu. Suratku pun tak sampai. Pak Pos keberatan mengantar surat melewati lumpur, kuatir surat menjadi rusak.”
Bagaimanapun Maida terpaksa tersenyum mendengar gurauan segar itu. Dalam hati kecil pun, ia mengagumi tentara ini. Tampan dan berhati baja.
Tapi aku tidak mau pergi dari sini!”
Tidak mau?” jawab tentara itu, wajahnya bertambah ramah. “Tidak apa-apa. Aku akan mengalah. Aku akan memindahkan kompiku ke sini. Hanya saja, disini kami tidak punya tempat untuk lari-lari atau main bola. Jurang semua!”
Kepala Kampung tertawa.
Maida juga tertawa.

Tentara itu melanjutkan: “Di tengah hutan tadi aku bertemu anggrek di cabang suatu pohon. Sebenarnya aku tak pernah memperhatikan keindahan bunga, tapi kali ini aku betul-betul memanjat. Dan kubawakan untukmu!” katanya sambil mengeluarkan bunga itu dari saku bajunya yang lebar.
Terimalah ini!”
Ih, seperti dongeng!”
Terimalah!”

Ketika Maida mengulurkan tangan menerimanya, mau tak mau ia tersenyum geli. Seperti dongeng, terlalu cengeng dan meniru-niru! Disaksikan orang banyak membuatnya malu. Tapi tentara itu tampaknya tak terpengaruh. Ia tenang saja. Dengan penuh percaya diri ia menggengam tangan Ibu Guru itu, meraih bahunya lalu berkata dengan jelas. “Ikutlah denganku! Kau akan menjadi isteri Komandan Kompi yang hebat. Kau akan berbahagia. Percayalah!”

Maida tak menjawab. Pikirannya tak mampu mencerna peristiwa yang berlangsung amat cepat. Ini seperti bom yang meledak tiba-tiba. Tak ada angin tak ada hujan. Tapi dalam hati kecil ia merasakan seberkas sinar yang sangat cerah menerangi kegelapan. Antara dua kutub yang berlawanan. Mengapa hidup membawa persoalan begitu memusingkan?

Setelah tentara itu kembali ke rumah kepala kampung, Maida harus menghadapi murid-muridnya yang tidak mengerti persoalan orang dewasa. Mereka selalu saja datang dengan keingintahuan kanak-kanak. Salah satu yang terbata-bata adalah anak perempuan yang tadi sore menyerbunya di kamar mandi. Anak itu berdiri di depan pintu. Dengan roknya yang kusut ia menyeka airmata bercampur ingus.

Ibu Guru tidak akan pergi, kan?”
Tidak. Siapa bilang Ibu akan pergi?”
Orang-orang mengatakan begitu. Tapi Ibu tidak pergi, kan? Tidak bohong, kan?”
Ah, kamu ini. Sini!” kata Ibu Guru itu meraih muridnya, membantunya menghapus air mata.
Pulanglah! Besok kita berjumpa di sekolah!”
Ibu Guru tidak bohong, kan?”
Tidak. Pulanglah!”

Anak itu pulang, menembus kegelapan malam. Mungkin kakinya akan terantuk batu karena terisak. Jika ia memang murid yang mencintai gurunya, maka ia pasti merasakan bahwa gurunya tidaklah memberikan jawaban yang dapat dipegang.
Maida menyuruh seseorang menyampaikan kabar ke rumah kepala kampung bahwa ia menolak menjadi isteri Komandan Kompi. Tapi baru saja orang itu pergi ia menyuruh orang lain lagi dengan pesan, “Besok berangkat sesudah pukul sembilan, sesudah berpamitan di sekolah……!”

Malam itu menjadi malam yang sangat panjang. Maida hampir tidak memejamkan mata sama sekali. Murid-muridnya juga banyak yang mengigau. Menanti keputusan yang sangat mendebarkan membuat mereka dikejar hantu dalam mimpi-mimpinya.
Ibu Guru tidak boleh pergi. Tidak boleh pergi. Mereka hendak meminta bantuan orang tua masing-masing. Tapi pikiran orang tua selalu berbeda. Mereka tidak mengerti mengapa ini dibiarkan.
Mengapa begitu sulit menolak seorang tentara. Bukankah semua orangtua bersenang hati melihat anak-anaknya bersekolah?
*****
Pagi harinya Maida berangkat sekolah dengan kaki mengambang. Bagaimanapun ia telah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, tampaknya bersiap untuk perjalanan jauh, tapi ia bertekad untuk tidak pergi. Semoga ada suatu kekuatan dari langit menyelesaikan masalah ini dengan ringkas, dengan kebahagiaan. Tanpa membekaskan luka dan penyesalan.. Tapi jalan manakah yang harus di tempuh?

Ia mendaki tangga tanah menuju halaman sekolah. Kepalanya menunduk. Jika tempat ini harus ditinggalkan, pergi ke tempat yang sangat jauh di Pulau Jawa, aduh…..
Ia membawa pulpen dua warna untuk mengoreksi pekerjaan rumah murid-muridnya. Dan murid-muridnya selalu saja berebut untuk lebih dulu dikoreksi. Tapi pagi ini pulpen itu tertinggal. Bahkan ia berangkat sekolah tanpa alas kaki. Semua terlupa begitu saja!

Di tepi halaman sekolah itu ia berhenti. Ternyata halaman sekolah itu telah dipenuhi orang. Semua warga berkumpul di situ. Tentara itu juga ada di sana dan berdiri di depan semua orang, seperti berpidato. Ketika menyadari Maida datang, tentara itu berbalik. Mengikuti pandangan semua orang, memperhatikan Ibu Guru mereka di tepi halaman.

Duka dan bahagia hanya dibatasi selembar selaput tipis. Karena itu orang-orang Mardugu menerima kesenangan dan kesedihan dengan cara yang sama. Orangtua yang dahulu pandai berpantun menyambut kedatangan guru mereka kini muncul lagi memimpin marhaban. Irama lagu yang tiba-tiba terasa mengiris ulu hati.

Maida yang pertama bereaksi. Nalurinya terpukul oleh perpisahan yang tak bisa ditawar lagi, “Kalian semua menyuruhku pergi….” katanya. Dan ia mulai menangis.
Murid-murid menyerbunya sambil melolong. Seorang murid, di sela tangisannya meminta Maida mengoreksi PR-nya sebelum pergi dan melasakkan tuduhan: “Ibu Guru berbohong….”
Tidak, aku tidak membohongi kalian.”
Tapi mengapa Ibu Guru pergi?”
Kalian juga…, mengapa kalian membiarkan ibu gurumu pergi. Aku tidak ingin pergi….!”

Seorang anak sedang menunggu giliran untuk bersalaman. Ia membawa bungkusan plastik hitam berisi buah rambutan. Itulah yang dapat ia berikan untuk perpisahan dengan gurunya. Anak itu yang sejak kemarin berjuang mati-matian untuk mempertahankan ibu gurunya, pagi ini ia terpaksa menyerah. Sebelum menyerahkan kenang-kenangan itu ia sempat berkata: “Ibu Guru, tidak pergi, kan ….” Dan ia jatuh pingsan.

Perpisahan itu berkembang menjadi dramatis. Beberapa orang pingsan. Dalam keriuhan itu satu suara mencoba menenangkan suasana. Yakni suara tentara itu yang berseru dengan keras: “Dengarkanlah, anak-anak, serta seluruh orangtua murid yang berkumpul di sini. Aku datang dari jauh, tak menyangka akan berjumpa dengan kenyataan seperti ini. Ibu guru kalian ini, aku telah memintanya kepada orang tuanya, juga kepada kepala kampung di sini. Ternyata aku keliru. Aku belum memintanya kepada kalian semua. Jadi aku bertanya sekarang, relakah kalian melepasnya pergi bersamaku?”

Tak ada jawaban. Tangisan murid semakin menjadi-jadi. Bahkan orangtua mereka ikut tersedu-sedu. Mata tentara itu pun berkaca-kaca. Sedangkan Kepala Kampung ikut menangis seperti anak-anak.

Dengan getir Kepala Kampung itu mendekati Ibu Guru dan berusaha merebutnya dari pelukan anak-anak yang dengan ketat memegangi baju gurunya, tangan dan kakinya. Beberapa anak jatuh bergulingan karena ditepiskan oleh Ketua, tapi mereka terus saja melolong.

Berangkatlah, puteriku, berangkatlah. Semoga kalian selamat sentosa di perjalanan. Soal anak-anak ini, biarlah menjadi urusan kami. Berangkatlah…!
Maida meninggalkan kampung itu sambil berurai air mata, dengan hati retak. Bahkan setelah mereka memasuki hutan Mardugu, suara anak-anak yang menangis sayup-sayup masih terdengar terbawa angin.

Kelak, kejadian ini selalu diungkapkannya kepada banyak orang, bahkan setelah suaminya menjadi Komandan Pangkalan Udara Militer di tempat yang sangat jauh. Kepada suaminya ia berkata bahwa meninggalkan Mardugu merupakan pengorbanan terbesar yang pernah ia lakukan dalam hidupnya.

Sementara itu orang-orang Mardugu mengabadikan kenangan mereka dengan cara yang aneh. Dua orang bayi perempuan yang lahir pada tahun itu dan beberapa lagi sesudahnya dijadikan tumpuan segala kenangan, agar nama Ibu Guru yang terindu itu tak pernah meninggalkan Mardugu. Orangtua mereka memberi nama yang sama kepada bayi-bayi itu, tak lebih dan tak kurang. Yakni nama yang pendek dan indah : Maida. 
Oleh:S. Ritonga
 

Lanjut Baca>>