SETANGKAI ANGGREK GUNUNG

Setara dengan hutan belantara di zaman purba adalah rimba raya Mardugu, kurang lebih seratus kilometer arah selatan Padang Sidempuan. Kanopi tebal hutan heterogen menjamin tak ada seberkas sinar mampu mencapai permukaan tanah sepanjang masa. Hutan perawan yang abadi, kelam dan dingin.

Hutan itu sering diibaratkan orang sebagai tempat bunuh diri. Tempat segala dedemit berkembang biak. Seorang ibu yang marah kepada putranya biasa mengeluarkan ancaman dengan: “Kalau kamu nakal terus ibu akan pergi ke Mardugu, biar kamu tidak punya ibu lagi!” Atau seorang pemuda bersumpah kepada kekasihnya dengan, “Kalau aku berdusta kepadamu maka aku rela mati dihisap hantu Mardugu!”

Hutan itu dialiri sungai berwarna kemerah-merahan, maka dinamai Sungai Bara. Mitos meyebut warna merah itu adalah darah kematian dari orang-orang yang tersasar……, tetapi sesungguhnya adalah hasil fermentasi humus tebal yang tiada henti. Di beberapa tempat terdapat telaga dengan air hitam pekat. Mata air yang merembes dari bawah akar pepohonan mengesankan bahwa tempat itu ideal untuk habitat harimau, atau ular sebesar batang kelapa!

Sesungguhnya hutan itu bukan tak pernah dilewati orang. Ada jalan setapak menyerupai ’sawah’ memotong persis di tengah: Jalur transportasi kuda beban. Namun untuk melintasinya diperlukan persiapan ekstra. Seseorang harus memiliki ajimat yang hebat, atau ia menunggu kawan untuk membentuk rombongan. Jika mencoba nekad seorang diri besar kemungkinan takkan pernah keluar lagi, ditangkap bangsa jin atau dimangsa binatang buas.
Seperti hari itu, tiga lelaki mengiringi tiga ekor kuda beban berangkat dari kota kecamatan di pagi buta. Tak diragukan lagi, mereka akan menyeberangi Mardugu. Ketika sampai di tepi hutan itu, masing-masing membaca rafalan-rafalan penangkal setan. Kemudian masuk dengan perasaan was-was.

Sampai tengah hari mereka belum keluar, bahkan masih di pertengahan hutan itu. Di tempat yang konon paling rawan, memotong Sungai Bara. Akhir-akhir ini air sungai itu menjadi sangat merah dan berbau. Di tempat ini dikabarkan perjumpaan dengan ‘hal-hal aneh’ adalah biasa. Seorang pembual bercerita bahwa ia pernah berpapasan dengan ular berkepala manusia.

Hayo, lapuk. Tarik!”
Angkat!”
Awas tunggul! Hiyaaa!”

Tiga lelaki di belakang tiga ekor kuda yang sarat beban. Dan hewan-hewan itu seakan mengerti bahasa manusia. Kaki-kakinya berkecipak hebat. Moncong-nya berulangkali terbenam dalam lumpur, mengeluarkan seluruh tenaga untuk menyeret perutnya yang mengapung di atas kubangan. Pada musim kemarau lumpur menjadi sangat lengket.
Dibutuhkan waktu tujuh jam penuh berjalan kaki tanpa henti untuk menyeberangi hutan itu, dengan kuda jantan paling tangguh sekalipun.

Menjelang sore mereka keluar di ujung dunia. Jalan setapak masih berlanjut. Berbelok ke kanan untuk melompati suatu ketinggian. Tusam liar dan lumut batu saling melengkapi untuk suasana pegunungan yang sejuk namun memendam bahaya. Kemudian terdengar gemercik air. Setelah melewati dua batu besar yang mengapit di kanan dan kiri, jalan itu tiba-tiba turun tajam hampir menyentuh daun kelapa dan bubungan atap rumah. Pemukiman manusia!

Itulah salah satu perkampungan di belakang hutan Mardugu. Mungkin masih ada kampung lain tersembunyi di balik bukit, dengan nama masing-masing. Tapi popularitas Mardugu lebih di kenal orang. Maka seluruh pemukiman itu lazim disebut Kampung Mardugu, dan warganya disebut orang-orang Mardugu. Berkunjung ke sana diistilahkan orang dengan pergi ke balik dunia.

Salah satu di antara pengiring kuda mengeluarkan selembar surat dari saku bajunya dan menunjukkannya kepada anak-anak yang berkerumun menonton lumpur di perut kuda:
Kalian bergembiralah. Tak lama lagi kalian akan bersekolah lagi. Akan ada guru baru datang ke sini. Kumpulkan lagi buku-buku dan seragam sekolah!” katanya. Surat itu diserahkannya kepada Kepala Kampung.

Berita akan datangnya guru baru menyebar dengan cepat. Bukan hanya anak-anak yang bergembira, tapi orangtua mereka pun bersuka cita.
Demikianlah, pada tahun 1985, bulan Agustus, bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan ke empat puluh. Mardugu berbenah dan menghias diri habis-habisan!
Mereka menunggu tamu. Dan tamu itu adalah seorang guru. Dalam tindasan surat dinas yang mereka lihat tertera jelas; nama guru itu adalah Maida, seorang gadis usia dua puluhan. Guru khusus agama. Lahir di kota kabupaten Padang Sidempuan. Tentu saja, ia gadis kota.
Aduhai, semoga menjadi kenyataan! Sudah lama di desa itu tak ada guru. Anak-anak tidak berangkat sekolah dan bangunan sekolah terlantar. Guru terakhir, seorang lelaki setengah baya. Hanya sebentar, lalu ia permisi cuti dan tak pernah kembali lagi. Sekarang akan datang pengganti. Seorang gadis pula. O, ia pasti cantik dan semoga belum punya kekasih!
Janur kuning di pasang di gerbang kampung. Dan dibuat berantai di kedua sisi bilah-bilah bambu yang dianyam menggantikan permadani, menuju rumah kecil yang telah dipersiapkan, di tengah kampung.
Sang Pemberi Rejeki yang luhur! Dapatkah gadis itu melintasi Mardugu? Mencapai desa ini dengan selamat? Lalu, apakah gadis itu betah tinggal disini nanti? Memberikan pelajaran agama kepada warga di sini?
Jika gadis itu benar-benar muncul di ujung desa, seluruh warga akan menyambutnya dengan marhaban, suatu tradisi menyambut tamu terhormat. Mereka akan mengiringi langkahnya dengan tambur. Seperti pengantin, ia akan disiram dengan beras kuning dan tepung tawar, ucapan selamat datang!
Dan pada hari yang ditentukan itu sekelompok orang diutus menjemput ke kota kecamatan. Mengawal guru itu melintasi hutan Mardugu ….
*****
Di Mardugu. Ibu-ibu telah menyelesaikan persiapan terakhir mereka. Gulai kambing untuk perjamuan. Para remaja, putra dan putri terus menerus menyempurnakan susunan manggar dan bunga puring yang diikatkan di tiang gerbang-gerbang. Antara sebentar menoleh ke ujung desa, kalau-kalau rombongan itu muncul. Penantian selalu membosankan.
Sejarah mencatat doa orang-orang Mardugu dikabulkan. Ditandai dengan teriakan seseorang yang gopah-gopoh: “Ayo, semua kumpul! Dimana pemukul tambur? Bunyikan gendang! Guru kita sudah datang. Ayo, semua!”

Berikutnya menyusullah kejadian-kejadian kecil yang mengundang gelak tawa.
Maida, gadis idaman itu, tolah-toleh. Tidak mengerti bahwa dirinya disambut dengan upacara kehormatan. Tak mungkin. Aku hanya guru sekolah dasar, demikian ia berpikir. Mungkin ada orang lain dalam rombongan itu. Tapi siapa?

Ibu guru kami, selamat datang,” seorang lelaki tua dalam pakaian adat lusuh berdiri di atas batu pada posisi yang agak tinggi, “Terangilah desa kami dengan sinar ilmu pengetahuan. Bekalilah anak-anak kami dengan budi pekerti yang luhur …”

Jelaslah, Maida yang dituju. Pikirannya bertambah kisruh. Penyambutan semacam ini jauh di luar perkiraannya yang paling gila. Disanjung setinggi langit membuatnya panik. Zaman purbakala sudah lama lewat. Ternyata upacara seperti ini masih dipelihara orang.
Seorang ibu datang ke depannya dengan sombol sirih. Maida kikuk.

Apa ini?”
Sekapur sirih, Bu Guru. Dengan gambir dan sekerat pinang. Untuk dimakan, menghangatkan badan, menghangatkan perasaan!”
Diapakan? Bagaimana rasanya?”
Makan sajalah, Bu Guru!”

Maida memakannya. Pedas dan sengak. Dikunyahnya saja dan ditelan habis.
Berikutnya ia disiram beras kuning, tepung tawar yang diaduk dalam cairan santan. “Semoga jiwa ragamu mendapat berkah di kampung ini. Lepaskanlah semua pengaruh jahat ketika melewati hutan Mardugu. Damailah bersama kami. Bersenang hatilah tinggal di kampung ini!”
Dalam kebutaan total terhadap remeh-temeh upacara adat, Maida hanya berpikir untuk tidak mengecewakan orang banyak itu. Maka ia bertindak sesuai intuisi saja. Ia tak mengerti harus berbuat apa dan mengatakan apa. Ketika seseorang memintanya untuk menjawab sepatah kata saja, ia malah tertawa.

Ketika sampai di rumah yang akan ditinggalinya, seseorang membawa bumbung bambu berisi air untuk membasuh kaki. Setelah itu mereka naik dan Maida dipersilahkan duduk di atas tikar berlapis sampang. Tak lama kemudian penganan dikeluarkan. Dan kehadapannya disodorkan nampan berisi sesuatu yang ditutupi daun pisang. Ketika seseorang mengucapkan pantun sambil membukanya, Maida hampir meledak dalam tawa. Ternyata kepala kambing yang sudah dimasak. Masih utuh!

Untuk apa ini?”
Untuk dimakan, Bu Guru!”
Begini? Bulat-bulat begini?”
Ibu guru itu ketawa lepas. Orang-orang pun ikut tertawa. Ibu Guru yang muda dan polos. Dan kepolosan itu membuat orang-orang makin jatuh hati kepadanya.
*****
Terbukti bahwa Mardugu terbuka dan mendambakan kemajuan. Bangunan sekolah yang reot itu segera dipugar. Dinding yang miring diluruskan kembali. Belukar di sekelilingnya ditebas. Dan Ibu guru yang baru datang itu dihormati melebihi dewi.

Ibrahim, kepala kampung Mardugu, orang-orang memanggilnya dengan sebutan ‘ketua’, memperingatkan warganya dengan sangat arogan. Khususnya kepada pemuda-pemuda kampung, ia berkata. “Kalian semua! Aku tahu, kalian akan meruap seperti berudu kalau melihat seorang gadis. Kuperingatkan kalian bahwa ini bukan gadis seperti yang biasa kalian goda-goda. Kalau sempat ia mengeluh kepadaku karena tingkahlaku kalian, maka lihat saja, kalian akan kukejar sampai lobang semut …”

Kepada Maida, Ketua itu berkata: “Ibu Guru yang terhormat. Di sini saya menjadi orangtua bagimu. Aku bertanggungjawab penuh terhadap segala hal. Maka jangan kuatir. Mengajarlah dengan tenang, bekerjalah dengan tekun!”
Maida merasa tersanjung.

Sungai kecil yang mengalir di tengah desa itu telah dicabangkan sedikit menuju bangunan kecil terbuat dari kayu beratap seng. Tempat mandi khusus Ibu Guru. Tidak ada yang orang diperkenankan mendekati bangunan khusus itu, atau akan menanggung resiko!

Di sekolah, ternyata Maida tidak hanya mengajarkan agama, tapi seluruh mata pelajaran. Ia hanya seorang diri, satu guru untuk semua. Barangkali merupakan perkecualian pula, bahwa muridnya bukan hanya anak-anak, tetapi juga orangtua yang hendak belajar tulis-baca di ujung hidupnya. Dan ruang kelasnya bukan hanya di bangunan sekolah, tapi merambat sampai kediamannya, atau dimana saja mereka berjumpa dengan gurunya.
Pagi itu Maida mendamaikan dua anak lelaki yang bertengkar antar sesamanya.

Mengapa bertengkar?”
Dia tidak memelihara sopan santun!” jawab salah satu anak, “Ia menyebut nama Ibu Guru!”
Apa yang ia katakan?”
Ia menyebutkan nama Ibu Guru. Katanya….nama guru itu.. Maida!”
Nah, kamu juga menyebut!” potong anak satunya langsung.
Maida terseyum geli, tak mengerti, “Apa itu salah?”

Untuk pertama kali Maida menyadari bahwa menyebutkan nama seorang guru termasuk larangan pula. Jika terpaksa menyebutkannya seseorang harus mengawali dengan tabik, jika memang benar-benar diperlukan.

Sudah menjadi kebiasaan pula bagi warga Mardugu memanjakan guru kesayangan itu dengan gaya mereka sendiri. Jika mereka mendapatkan ikan di sungai atau di kolam, mereka akan berkata: ” Sisihkan yang paling besar untuk Ibu Guru”. Atau jika membawa durian dari kebun: “Pilihkan yang paling bagus untuk Ibu Guru!”

Sekali waktu Maida mengungkapkan kekagumam atas cerita muridnya bahwa di bukit batu dekat kampung itu ada kambing gunung berkeliaran di alam bebas, ia dipenuhi rasa ingin tahu. Apakah ukuran tubuhnya sama dengan kambing biasa? Ketika kepala kampung mendengar berita itu ia segera mengumpulkan para bujang untuk pergi berburu: “Kalian harus mendapatkannya. Tangkap seekor dalam keadaan hidup!”

Hari hari menjadi hangat dan menyenangkan. Jika malam terang bulan, Maida duduk di tangga rumahnya. Anak-anak muridnya ikut berkumpul memainkan tari tumba. Sejenis tarian sambil bernyanyi. Gerakannya hanya mengandalkan tepuk tangan dan ayunan kaki.
Hijau, hijaulah daun havea, o, ibu.
Lambang keindahan negeri ini.
Tanah yang subur dan makmur
Bahagia selama-lamanya…..

Maida tak pernah tahu siapa pencipta lagu ini dan mengapa anak - anak di kampung ini hanya mengenal lagu-lagu semacam itu. Maida tidak mengingkari fakta bahwa ketika melamar menjadi guru persepsinya adalah pekerjaan dan gaji! Tetapi setelah berbhakti di pedalaman ini Maida memperoleh sebuah penghayatan baru. Pengabdian dan dharma bakti sangat mengesankan. Ia bersyukur bahwa ia menjadi guru. Dan ia mendapatkan tempat yang sangat tepat.

Jika malam telah larut Maida kerap hanyut dalam alunan suara seruling. Sayup-sayup meniti angin yang berhembus dari hutan Mardugu. Sebelumnya Maida tak pernah mengagumi musik, tapi di Mardugu sungguh berbeda. Ia ingin tahu siapa sesungguhnya pemuda peniup seruling itu, tapi ia selalu malu untuk bertanya. Dan tak pernah seorang pemuda pun berani mendekati tangga rumahnya!

Pemuda Mardugu mempunyai kebiasaan kalong. Hidupnya bergairah di waktu malam. Lintas-melintas antar kampung. Maida berpikir apakah orang-orang itu tidak takut disambar macan. Jika sedang menganggur atau patah hati mereka berkumpul untuk bernyanyi. Tapi syair lagu mereka selalu itu-itu saja: Perjuangan menempuh kehidupan, pemujaan terhadap negeri atau kisah kehidupan pahlawan negara.

Mau tak mau Maida menyadari sebuah ironi. Manakala anak-anak dan remaja di kota kelahirannya sibuk dengan kemerosotan moral, bahkan menyanyikan lagu-lagu yang melukai etika. Jadi dimanakah sebenarnya kesenian itu berkembang sehat? Itu semua membuatnya semakin mencintai kehidupan desa. Semakin terikat di Mardugu!
Tanpa terasa, dua tahun telah berlalu.

Maida telah jadi anak kandung Mardugu. Telah terbiasa dengan suasana hidup Mardugu. Hingga sampailah waktunya ……..
*****
Seorang perwira tentara berpangkat letnan memasuki kampung itu suatu sore. Di kawal oleh dua orang pemuda asing. Lumpur hitam yang mengotori baju lorengnya menciptakan kesan gagah sekaligus sangar. Bahwa ia telah melewati hutan Mardugu dengan susah payah, karena hanya itulah jalan satu-satunya memasuki kampung di balik dunia ini. Dan sudah pasti ia datang untuk suatu urusan yang sangat penting, yang tak bisa ditunda.


Seorang ibu yang melihat tamu tiba-tiba ini tak tahan untuk tidak menyapa. Ragu-ragu ia keluar dari kolong rumahnya.

Hendak kemana, Tuan?”
Mencari rumah kepala kampung. Dimana?” jawab tentara itu. Suaranya tegas.
Oh…!” Ibu itu menahan napas. Mungkin telah terjadi kekeliruan. Ia menunjuk dengan pikiran kacau, “Disana. Ada apa?”
Saya hendak menemui Maida!”
Ibu guru kami. Mengapa ia dicari!”
Saya akan mengambilnya!”
Ibu itu langsung tertegun. Matanya melolong tak mengerti, “Mengambil bagaimana…!”
He he he, ibu jangan kaget begitu. Saya akan mengambilnya untuk dijadikan isteri, tentu!”
Ah, bapak ini, bagaimana ini…..”
Betul! Ini sungguh-sungguh!”
Kalau begitu …., kita harus ke rumah ketua.”

Dan mereka beriringan menuju rumah dimaksud.
Seorang anak yang tadi membantu ibunya menyusun kayu bakar di kolong rumah menguping pembicaran itu. Yang dilakukannya kemudian adalah mengikuti tuntutan nalurinya sebagai bocah kelas tiga sekolah dasar.

Ia berlari menuju rumah Ibu Gurunya untuk berita yang menggemparkan ini. Ketika rumah itu ternyata kosong ia berlari menuju pemandian.
Tanpa memperdulikan larangan mendekati kamar kecil itu ia menerobos masuk. Ternyata betul, Ibu Guru sedang mandi.
Hei, mengapa masuk?”
Anak itu tak perduli. Ia memegang bahu Ibu guruya yang berlumur sabun, dan memaksanya berhadapan.
Ibu Guru dicari orang!” bisiknya.
Heh? Siapa?”
Ada orang, pokoknya. Ibu tidak punya janji, kan? Ibu guru tidak akan pergi, kan?”
Tidak…” Ibu guru menampakkan wajah heran, “Tamu dari mana?”
Tidak tahu! Sedang ditanyai ibuku!”
Begini saja, kamu pulanglah dulu, beritahu supaya menunggu. Bilang, Ibu guru sedang mandi!”
Tapi, ibu guru tidak bohong, kan?”
Bohong? Mengapa aku harus berbohong? Pulanglah!”

Dan anak itu pulang dengan wajah berseri. Ia telah mendapat kepastian yang ia inginkan. Bahwa ibu guru tidak akan pergi. Itu cukup baginya.
Namun anak kecil itu telah membuat Maida terburu-buru. Mungkin saja orangtuanya dari kota datang karena Maida terlalu lama tidak mengirim kabar. Atau siapa? Ia sendiri tak ada bayangan!

Ia keluar dari kamar mandi dengan handuk di kepala. Beberapa lembar cucian ditinggalkannya begitu saja. Ia naik tanggul. Tapi disitu ia menemukan dua orang muridnya yang lelaki telah menunggu pula.
Ibu guru dicari tentara.”
Siapa? Ada tentara mencariku?”
Tunggu, Bu Guru!” kata anak yang lain, melihat ibu gurunya hendak meneruskan langkah, “Kita tunggu disini. Jangan pulang dulu!”
Mereka mengamankan ibu gurunya dengan cara mereka pula. Pikiran anak-anak itu tidak nyaman jika harus berurusan dengan tentara. Apapun keperluannya. Bebarapa saat lamanya Maida berhenti disitu ditahan oleh anak muridnya. Sangat bimbang! Apa sebenarnya yang terjadi? Adakah sesuatu kesalahan? Akhirnya ia memaksakan diri dengan berkata: “Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa. Tidak ada apa-apa!”

Dan ia pulang.
Di rumah kepala kampung terjadi pembicaraan seru. Orang-orang berkumpul, sampai luber ke depan pintu. Di dalam, Ibrahim sedang berbicara dengan tentara itu. Dan pembicaraan itu didengar oleh semua warga yang berjejal sampai halaman.
Ini tidak masuk akal….” Keluh Kepala Kampung dengan nada putus asa. “Bagaimana bisa mendadak seperti ini! Dan Ibu Guru tidak pernah bercerita kepada kami soal ini!”
Begitulah , Pak Ketua. Orangtuanya meminta saya menjemputnya kesini!”
Ah, ya ….”
Mohon maaf, atas kedatangan saya yang mendadak ini. Saya memanfaatkan waktu cuti, jadi segalanya terpaksa mendadak!”
Ya, ya…, aku tahu. Tentara selalu terburu-buru. Tapi ini keadaan yang sulit, sangat sulit!” katanya, dan matanya menerawang jauh. Kemudian ia berkata kepada seorang wanita di depan pintu, “Pergilah untuk memanggil Ibu Guru kesini!” Tapi ia segera meralat perintahnya, “O, biar aku saja. Aku akan menanyainya dulu sebelum sampai ke sini. Aku ingin tahu jawabannya dulu!”

Dan ia bergegas.
Di perjalanan menuju kediaman Ibu Guru, ia merasakan dilema berat menghimpit kepalanya. Kampung ini akan kembali kehilangan guru. Soal pengganti itu mudah, tapi Ibu guru ini, alangkah menyatu dengan Mardugu. Semua warga mencintainya. Seorang ibu yang mengejarnya dan membisikkan permohonan agar lamaran tentara ini ditolak saja, setidaknya waktunya diulur…… Itu semua menjadi bukti bahwa melepaskan Ibu Guru ini untuk pergi bukan perkara mudah!

Namun di satu sisi ia menyadari fakta, bahwa Ibu Guru mereka itu adalah seorang gadis. Dan sejak awal ia bertekad menjadi orangtuanya dalam segala hal. Jika Maida itu adalah puterinya, bagaimanapun ia pasti berpikir soal menantu. Jika demikian, maka puterinya telah mendapatkan jodoh yang sepadan. Seorang gadis yang hebat bertemu pemuda yang hebat! Ia tidak bisa mengesampingkan pandangan ini ketika ia bicara dengan Maida.

Temuilah ia di rumahku!”
Aku tidak mau!” jawab Maida. Untuk pertama kali Ibu Guru ini mengeluarkan kata-kata yang begitu tegas, “Mengapa ia datang mendadak?”
Ia juga mengakui itu. Tapi karena cutinya sangat pendek, ia tak punya jalan lain!”
Aku tidak mau!”
Penolakan yang ketat itu membuat Kepala Kampung merasa ia tidak lagi berhadapan dengan Ibu Guru, tapi sedang menghadapi putrinya sendiri. Dan jika begitulah adanya, maka campur tangannya dalam masalah ini tak lagi berarti. Ia pulang dengan kepastian, “Jika tentara itu hendak menjadi menantuku, ia harus berjuang sendiri meraih keinginannya…” Dan ia pun pulang.

Namun ketika ia berbalik, ia hampir saja bertubrukan dengan tentara itu. Maida juga terkejut dengan pemunculannya.
Maafkan kedatanganku. Seperti yang kukatakan dahulu, setelah pulang dari Timtim, tugasku yang pertama adalah menemuimu!”
Tiba-tiba sekali. Mengapa tidak memberitahu lebih dulu. Setidaknya ada kabar…..”
Itulah!” jawab tentara itu. “Aku sudah menelpon tapi tidak menyambung. Rupanya belum ada kabel melintasi Mardugu. Suratku pun tak sampai. Pak Pos keberatan mengantar surat melewati lumpur, kuatir surat menjadi rusak.”
Bagaimanapun Maida terpaksa tersenyum mendengar gurauan segar itu. Dalam hati kecil pun, ia mengagumi tentara ini. Tampan dan berhati baja.
Tapi aku tidak mau pergi dari sini!”
Tidak mau?” jawab tentara itu, wajahnya bertambah ramah. “Tidak apa-apa. Aku akan mengalah. Aku akan memindahkan kompiku ke sini. Hanya saja, disini kami tidak punya tempat untuk lari-lari atau main bola. Jurang semua!”
Kepala Kampung tertawa.
Maida juga tertawa.

Tentara itu melanjutkan: “Di tengah hutan tadi aku bertemu anggrek di cabang suatu pohon. Sebenarnya aku tak pernah memperhatikan keindahan bunga, tapi kali ini aku betul-betul memanjat. Dan kubawakan untukmu!” katanya sambil mengeluarkan bunga itu dari saku bajunya yang lebar.
Terimalah ini!”
Ih, seperti dongeng!”
Terimalah!”

Ketika Maida mengulurkan tangan menerimanya, mau tak mau ia tersenyum geli. Seperti dongeng, terlalu cengeng dan meniru-niru! Disaksikan orang banyak membuatnya malu. Tapi tentara itu tampaknya tak terpengaruh. Ia tenang saja. Dengan penuh percaya diri ia menggengam tangan Ibu Guru itu, meraih bahunya lalu berkata dengan jelas. “Ikutlah denganku! Kau akan menjadi isteri Komandan Kompi yang hebat. Kau akan berbahagia. Percayalah!”

Maida tak menjawab. Pikirannya tak mampu mencerna peristiwa yang berlangsung amat cepat. Ini seperti bom yang meledak tiba-tiba. Tak ada angin tak ada hujan. Tapi dalam hati kecil ia merasakan seberkas sinar yang sangat cerah menerangi kegelapan. Antara dua kutub yang berlawanan. Mengapa hidup membawa persoalan begitu memusingkan?

Setelah tentara itu kembali ke rumah kepala kampung, Maida harus menghadapi murid-muridnya yang tidak mengerti persoalan orang dewasa. Mereka selalu saja datang dengan keingintahuan kanak-kanak. Salah satu yang terbata-bata adalah anak perempuan yang tadi sore menyerbunya di kamar mandi. Anak itu berdiri di depan pintu. Dengan roknya yang kusut ia menyeka airmata bercampur ingus.

Ibu Guru tidak akan pergi, kan?”
Tidak. Siapa bilang Ibu akan pergi?”
Orang-orang mengatakan begitu. Tapi Ibu tidak pergi, kan? Tidak bohong, kan?”
Ah, kamu ini. Sini!” kata Ibu Guru itu meraih muridnya, membantunya menghapus air mata.
Pulanglah! Besok kita berjumpa di sekolah!”
Ibu Guru tidak bohong, kan?”
Tidak. Pulanglah!”

Anak itu pulang, menembus kegelapan malam. Mungkin kakinya akan terantuk batu karena terisak. Jika ia memang murid yang mencintai gurunya, maka ia pasti merasakan bahwa gurunya tidaklah memberikan jawaban yang dapat dipegang.
Maida menyuruh seseorang menyampaikan kabar ke rumah kepala kampung bahwa ia menolak menjadi isteri Komandan Kompi. Tapi baru saja orang itu pergi ia menyuruh orang lain lagi dengan pesan, “Besok berangkat sesudah pukul sembilan, sesudah berpamitan di sekolah……!”

Malam itu menjadi malam yang sangat panjang. Maida hampir tidak memejamkan mata sama sekali. Murid-muridnya juga banyak yang mengigau. Menanti keputusan yang sangat mendebarkan membuat mereka dikejar hantu dalam mimpi-mimpinya.
Ibu Guru tidak boleh pergi. Tidak boleh pergi. Mereka hendak meminta bantuan orang tua masing-masing. Tapi pikiran orang tua selalu berbeda. Mereka tidak mengerti mengapa ini dibiarkan.
Mengapa begitu sulit menolak seorang tentara. Bukankah semua orangtua bersenang hati melihat anak-anaknya bersekolah?
*****
Pagi harinya Maida berangkat sekolah dengan kaki mengambang. Bagaimanapun ia telah memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, tampaknya bersiap untuk perjalanan jauh, tapi ia bertekad untuk tidak pergi. Semoga ada suatu kekuatan dari langit menyelesaikan masalah ini dengan ringkas, dengan kebahagiaan. Tanpa membekaskan luka dan penyesalan.. Tapi jalan manakah yang harus di tempuh?

Ia mendaki tangga tanah menuju halaman sekolah. Kepalanya menunduk. Jika tempat ini harus ditinggalkan, pergi ke tempat yang sangat jauh di Pulau Jawa, aduh…..
Ia membawa pulpen dua warna untuk mengoreksi pekerjaan rumah murid-muridnya. Dan murid-muridnya selalu saja berebut untuk lebih dulu dikoreksi. Tapi pagi ini pulpen itu tertinggal. Bahkan ia berangkat sekolah tanpa alas kaki. Semua terlupa begitu saja!

Di tepi halaman sekolah itu ia berhenti. Ternyata halaman sekolah itu telah dipenuhi orang. Semua warga berkumpul di situ. Tentara itu juga ada di sana dan berdiri di depan semua orang, seperti berpidato. Ketika menyadari Maida datang, tentara itu berbalik. Mengikuti pandangan semua orang, memperhatikan Ibu Guru mereka di tepi halaman.

Duka dan bahagia hanya dibatasi selembar selaput tipis. Karena itu orang-orang Mardugu menerima kesenangan dan kesedihan dengan cara yang sama. Orangtua yang dahulu pandai berpantun menyambut kedatangan guru mereka kini muncul lagi memimpin marhaban. Irama lagu yang tiba-tiba terasa mengiris ulu hati.

Maida yang pertama bereaksi. Nalurinya terpukul oleh perpisahan yang tak bisa ditawar lagi, “Kalian semua menyuruhku pergi….” katanya. Dan ia mulai menangis.
Murid-murid menyerbunya sambil melolong. Seorang murid, di sela tangisannya meminta Maida mengoreksi PR-nya sebelum pergi dan melasakkan tuduhan: “Ibu Guru berbohong….”
Tidak, aku tidak membohongi kalian.”
Tapi mengapa Ibu Guru pergi?”
Kalian juga…, mengapa kalian membiarkan ibu gurumu pergi. Aku tidak ingin pergi….!”

Seorang anak sedang menunggu giliran untuk bersalaman. Ia membawa bungkusan plastik hitam berisi buah rambutan. Itulah yang dapat ia berikan untuk perpisahan dengan gurunya. Anak itu yang sejak kemarin berjuang mati-matian untuk mempertahankan ibu gurunya, pagi ini ia terpaksa menyerah. Sebelum menyerahkan kenang-kenangan itu ia sempat berkata: “Ibu Guru, tidak pergi, kan ….” Dan ia jatuh pingsan.

Perpisahan itu berkembang menjadi dramatis. Beberapa orang pingsan. Dalam keriuhan itu satu suara mencoba menenangkan suasana. Yakni suara tentara itu yang berseru dengan keras: “Dengarkanlah, anak-anak, serta seluruh orangtua murid yang berkumpul di sini. Aku datang dari jauh, tak menyangka akan berjumpa dengan kenyataan seperti ini. Ibu guru kalian ini, aku telah memintanya kepada orang tuanya, juga kepada kepala kampung di sini. Ternyata aku keliru. Aku belum memintanya kepada kalian semua. Jadi aku bertanya sekarang, relakah kalian melepasnya pergi bersamaku?”

Tak ada jawaban. Tangisan murid semakin menjadi-jadi. Bahkan orangtua mereka ikut tersedu-sedu. Mata tentara itu pun berkaca-kaca. Sedangkan Kepala Kampung ikut menangis seperti anak-anak.

Dengan getir Kepala Kampung itu mendekati Ibu Guru dan berusaha merebutnya dari pelukan anak-anak yang dengan ketat memegangi baju gurunya, tangan dan kakinya. Beberapa anak jatuh bergulingan karena ditepiskan oleh Ketua, tapi mereka terus saja melolong.

Berangkatlah, puteriku, berangkatlah. Semoga kalian selamat sentosa di perjalanan. Soal anak-anak ini, biarlah menjadi urusan kami. Berangkatlah…!
Maida meninggalkan kampung itu sambil berurai air mata, dengan hati retak. Bahkan setelah mereka memasuki hutan Mardugu, suara anak-anak yang menangis sayup-sayup masih terdengar terbawa angin.

Kelak, kejadian ini selalu diungkapkannya kepada banyak orang, bahkan setelah suaminya menjadi Komandan Pangkalan Udara Militer di tempat yang sangat jauh. Kepada suaminya ia berkata bahwa meninggalkan Mardugu merupakan pengorbanan terbesar yang pernah ia lakukan dalam hidupnya.

Sementara itu orang-orang Mardugu mengabadikan kenangan mereka dengan cara yang aneh. Dua orang bayi perempuan yang lahir pada tahun itu dan beberapa lagi sesudahnya dijadikan tumpuan segala kenangan, agar nama Ibu Guru yang terindu itu tak pernah meninggalkan Mardugu. Orangtua mereka memberi nama yang sama kepada bayi-bayi itu, tak lebih dan tak kurang. Yakni nama yang pendek dan indah : Maida. 
Oleh:S. Ritonga
 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...